Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama dalam menggunakan hadits dhaif menjadi 3 pendapat / madzhab: Pendapat Pertama ألمَذْهَبُ الاَوّ...
Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama dalam menggunakan hadits dhaif menjadi 3 pendapat / madzhab:
Pendapat Pertama
ألمَذْهَبُ الاَوّلَ : لاَ يُعمَلُ بِهِ مُطْلَقًا، لاَ فِى الْفَضَائِلُ وَ لاَ فِى االاَحْكَامِ، حَكَاهُ ابْنُ السَيِّدِ االنَّاسِ عَنْ يَحْيَى ابْن مَعِيْنِ وَاِلَيْهِ ذَهَبَ أَبُوا بَكْرٍ ابنُ العَرَبِيِّ، وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ مَذْهَبُ البُخَارِى وَالمُسلِمِ.
Tidak boleh menggunakan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail (keutamaan amal), maupun yang menyangkut hukum. Demikian disampaikan Ibnu Sayyid an-Nas dari Yahya bin Ma’in, dan demikian juga pendapat Abu Bakar bin ‘Arabi. Dan yang jelas pendapat ini adalah pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Pendapat Kedua
المَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُعْمَلُ بِالحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مُطَلَّقًا.
وَعَزَّى هَذَا إِلَى أَبِى دَاوُدَ وَ الاِمَامِ أَحْمَدَ، وَ أَنَّهُمَا يَرَيَانِ ذَلِكَ أَقْوَى مِنْ رَأْيِ الرِّجَلِ.
Boleh menggunakan hadits dhaif secara mutlak. Pendapat ini di nisbatkan kepada Abu Daud dan Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits dhaif itu lebih kuat daripada pendapat seseorang
Pendapat Ketiga
المَذْهَبُ الثَّالِثُ : أَنَّهُ يُعْمَلُ فِى الفَضَائِلُ وَالمَوَاعِظِ وَ نَحْوَ ذَلِكِ، إِذَا تَوَفَّرَتْ لَهُ بَعْضُ الشُّرُوطِ وَهِيَ:
Bahwa hadits dhaif itu dapat di amalkan dalam Fadhail al-Amal, nasihat-nasihat dan lain sebagainya. Apabila memenuhi syarat di bawah ini:
أَنْ يَكُونَ الضَّعْفُ غَيْرَ شَدِيْدٍ.
1. Derajat kedhaifannya itu tidak terlalu berat
أَنْ يَنْدَرِجَ تَحْتَ أَصْلٍ مَعْمُولُ بِهِ.
2. Termasuk dalam pokok-pokok yang dapat diamalkan
أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ عِنْدَ العَمَلِ بِهِ ثُبُوتَهُ بَلْ يَعْتَقِدُ الْاِحْتِيَاطَ.
3. Hendaknya pada saat mengamalkannya tidak meyakini keshahihannya, melainkan hanya untuk berhati-hati saja.
KESIMPULAN
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang paling selamat. Sesungguhnya kita mempunyai hadits-hadits yang shahih tentang keutamaan, perangsang dan peringatan dari koleksi/himpunan sabda-sabda Nabi yang cukup banyak dan tidak perlu dijelaskan lagi tentang sifat-sifat hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut telah cukup bagi kita sehingga tidak perlu mengambil hadits-hadits dhaif dalam hal ini. Teristimewa keutamaan-keutamaan, serta akhlaq mulia –termasuk pokok-pokok agama- tidak ada perbedaan antara hadits-hadits yang mengenai akhlaq dan yang terkait dengan masalah hukum, keduanya harus berdasar hadits shahih atau hasan. Adalah suatu keharusan rujukan semua itu adalah hadits yang maqbul (dapat di terima). (Ushul al-Hadits, hal: 352)
KAIDAH
أَالجَرهُ مُقَدَّمُ عَلَى التَّعْدِيْلِ.
“Al-Jarh (cacad) hendaknya didahulukan daripada pernyataan ‘Adil”.
Ada kaidah dalam ilmu hadits yaitu: “tuduhan cacat harus lebih di dahulukan daripada penilaian orang yang menganggap adil”. Maksudnya adalah, terkadang para ahli hadits berbeda dalam menilai seorang rawi hadits, dimana sepihak menganggapnya adil, jujur dan dapat dipercaya, sementara pihak lain melihat sebaliknya.
Nah, untuk menentukan penilaian yang man yang kuat, apakah menganggap adil atau yang menganggap dhaif? Simak penjelasan di bawah ini:
Dalam hal ini terbagi ke dalam tiga tingkatan:
إِذَا كَانَ الجَارِحُ مُبَيِّنًا السَّبَبَ، فَيُقَدَّمُ الجَرْحُ
Bila si penjarah (orang yang menganggap cacat) menjelaskan sebab jarahnya, maka hendaknya didahulukan pernyataan jarahnya.
إِذَا لَمْ ييَكُنْ الجَارِحُ مُبَيِّنًا السَّبَبَ، فَيُقَدَّمُ التَّعْدِيْلُ.
Bila si penjarah tidak menjelaskan sebab jarahannya. Maka hendaknya didahulukan pernyataan orang yang menganggap adil.
إِذَا لَمْ يُبَيِّنِ السَّبَبَ وَلَكِنْ لاَ أَحَدَ يُصَحِّحُهُ فَيُقْبَلُ الجَرْحُ.
Bila si penjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya, tetapi tidak ada seorangpun yang menyatakan shahih kepadanya. Maka pernyataan jarah itu bisa diterima.
Menurut pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar:
1. Bila (terjadi) bersatu pada seorang rawi tuduhan jarah yang dijelaskan sebabnya dengan tuduhan adil, maka tuduhan jarahnya di dahulukan, meski yang menganggap adil banyak jumlahnya. Karena si penjarah –tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang menganggap adil.
2. Bila seseorang dijarah secara mujmal (garis besar) padahal ia telah dinyatakan Tsiqat (kepercayaan) oleh para Imam dalam urusan ini (ahli hadits), maka tuduhan jarah itu tidak dapat diterima dari siapa dan bagaimanapun, kecuali jarah yang dijelaskan sebab-sebabnya, mengingat ia telah mendapat tingkatan tsiqat, maka ia tidak bisa ditolak kecuali dengan alasan yang jelas. Karena para Imam dalam urusan ini (ahli hadits) tidak akan menganggap tsiqat kepada seseorang kecuali telah diteliti terlebih dahulu keadaanya, baik di dalam agamanya ataupun dalam urusan haditsnya, serta mereka juga akan mengkritiknya sebagaimana layaknya. Mereka adalah orang yang paling cermat dan hati-hati. Maka keputusan mereka tidak dapat di gugurkan kecuali dengan pernyataan yang jelas sekali.
3. Dan jika sepi dari yang menganggap adil, maka bisa diterima jarah yang tidak dijelaskan (sebab jarahnya) jika keluar dari orang yang arif, karena sesungguhnya jika tidak di nyatakan adil, maka ia berarti dalam keadaan majhul, sedang menggunakan ucapan yang menganggap jarah lebih utama daripada membiarkannya. (Syarah Alfiyah As-Syuyuthi, hal: 99)
4. Perincian yang telah dipilih oleh Ibnu Hajar itulah yang menentramka hati orang yang membahas mengenai Ta’lil (‘illat hadits), jarah dan ta’dil setelah ditetapkannya ‘Ulumu al-Hadits dan di bukukannya.
5. Janganlah seseorang tertipu dengan kaidah: “AL-JAHRU MUQADDAMUN ‘ALA TA’DIL”, maka sesungguhnya para pakar hadits sekalipun mereka mengungkapkannya dengan bebas, tetapi maksudnya adalah jarah yang dijelaskan sebabnya, karena jarah yang tidak dijelaskan belum tentu bahwa itu adalah jarah yang mesti di tolak. (Taudhihu al-Afkar, 2 : 274)
6. Banyak orang yang mencela imam muslim karena ia meriwayatkan dalam kitab shahihnya sekelompok rawi yang lemah dan yang tingkat pertengahan. Pada tingkat kedua ini, adalah mereka yang tidak memenuhi prasyarat shahih, padahal tidak tergolong aib (cacat) menurut Imam Muslim, (hal) itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, sebagaimana telah di sampaikan oleh Abu Amr Ibnu Ash-Shalih; Pertama, hal itu terjadi pada orang dhaif menurut pendapat orang lain, sedang menurut pendapatnya adalah shahih. Oleh karena itu tidak dapat disebut; “AL_JAHRU MUQADDAMUN ‘ALA TA’DIL”, karena hal itu terjadi jika keadaan jarah yang pasti penjelasan sebab-sebab jarahnya. Apabila tidak demikian halnya, maka tuduhan jarah itu tidak bisa diterima. (an-Nawawi; Syarah Shahih Muslim, 1: 25)
7. Telah berkata al-Taju al-Subki dalam Thabaqah-nya: “Hati-hatilah memahami kaidah ahli hadits; “AL-JAHRU MUQADDAMUN ‘ALA TA’DIL”, itu menurut kemutlakannya. Adapun yang benar adalah siapa yang konsisten dalam kejujuran dan keadilannya serta banyak orang yang memuji dia, dan jarang orang yang menjarahnya, disamping itu pula disana terdapat bukti-bukti yang menunjukkan sebab jarahnya itu hanyalah atas dasar fanatik madhab atau sejenisnya, maka janganlah memperhatikan tuduhan jarahnya”. (Qawa’id at-Tahdits, hal: 171)
8. Adapun tuduhan jarah , sesungguhnya tidak dapat diterima, kecuali dijelaskan argumentasinya/alasan/sebab, karena orang senantiasa berbeda dalam penilaian man yang harus dijarah, mana yang tidak. Adakalanya seseorang menyatakan jarah berdasarkan anggapannya sendiri, padahal sebenarnya bukan jarah. Oleh karena itu, harus dijelaskan alasan jarahnya itu sebagai bahan pertimbangan apakah termasuk jarah atau tidak. Nampaknya hal ini telah menjadi ketetapan dalam fiqh dan ushul fiqh.
(menurut) pernyataan al-Khatib al-Hafidz, pendapat tersebut diatas adalah pendapat para Imam ahli hadits dan para pengkritik hadits seperti: Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Karena itu, Imam Bukhari berhujjah/berpegang dengan sekelompok orang yang terlebih dahulu di jarah oleh yang lain seperti: Ikarimah Maula Ibnu Abbas, Ismail bin Abi Uwais, Ashim bin Ali, Amr bin Marzuq, dll. Juga Imam Muslim juga telah berhujjah dengan Suwaid bin Sa’id, dengan sekelompok orang yang dikenal telah tercela di kalangan mereka. Demikian juga dengan sikap Abu Daud al-Sajastani. Hal itu semua menunjukan bahwa para ahli/pakar hadits sepakat berpendapat bahwa tuduhan jarah itu tidak kuat, kecuali jika dijelaskan argumentasinya, sedangkan pendapat para kritik rijal hadits berbeda pendapat. (Al-Kifayah fil Ilmi al-Riwayat, hal: 176, al-Taqyid wa al-Idhahat, Syarh Muqaddimat Ibnu Shalah, hal: 140)
KESIMPULAN
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika terjadi penilaian yang berbeda di kalangan para ahli hadits, maka:
Pendapat Pertama
ألمَذْهَبُ الاَوّلَ : لاَ يُعمَلُ بِهِ مُطْلَقًا، لاَ فِى الْفَضَائِلُ وَ لاَ فِى االاَحْكَامِ، حَكَاهُ ابْنُ السَيِّدِ االنَّاسِ عَنْ يَحْيَى ابْن مَعِيْنِ وَاِلَيْهِ ذَهَبَ أَبُوا بَكْرٍ ابنُ العَرَبِيِّ، وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ مَذْهَبُ البُخَارِى وَالمُسلِمِ.
Tidak boleh menggunakan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail (keutamaan amal), maupun yang menyangkut hukum. Demikian disampaikan Ibnu Sayyid an-Nas dari Yahya bin Ma’in, dan demikian juga pendapat Abu Bakar bin ‘Arabi. Dan yang jelas pendapat ini adalah pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Pendapat Kedua
المَذْهَبُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُعْمَلُ بِالحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مُطَلَّقًا.
وَعَزَّى هَذَا إِلَى أَبِى دَاوُدَ وَ الاِمَامِ أَحْمَدَ، وَ أَنَّهُمَا يَرَيَانِ ذَلِكَ أَقْوَى مِنْ رَأْيِ الرِّجَلِ.
Boleh menggunakan hadits dhaif secara mutlak. Pendapat ini di nisbatkan kepada Abu Daud dan Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits dhaif itu lebih kuat daripada pendapat seseorang
Pendapat Ketiga
المَذْهَبُ الثَّالِثُ : أَنَّهُ يُعْمَلُ فِى الفَضَائِلُ وَالمَوَاعِظِ وَ نَحْوَ ذَلِكِ، إِذَا تَوَفَّرَتْ لَهُ بَعْضُ الشُّرُوطِ وَهِيَ:
Bahwa hadits dhaif itu dapat di amalkan dalam Fadhail al-Amal, nasihat-nasihat dan lain sebagainya. Apabila memenuhi syarat di bawah ini:
أَنْ يَكُونَ الضَّعْفُ غَيْرَ شَدِيْدٍ.
1. Derajat kedhaifannya itu tidak terlalu berat
أَنْ يَنْدَرِجَ تَحْتَ أَصْلٍ مَعْمُولُ بِهِ.
2. Termasuk dalam pokok-pokok yang dapat diamalkan
أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ عِنْدَ العَمَلِ بِهِ ثُبُوتَهُ بَلْ يَعْتَقِدُ الْاِحْتِيَاطَ.
3. Hendaknya pada saat mengamalkannya tidak meyakini keshahihannya, melainkan hanya untuk berhati-hati saja.
KESIMPULAN
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang paling selamat. Sesungguhnya kita mempunyai hadits-hadits yang shahih tentang keutamaan, perangsang dan peringatan dari koleksi/himpunan sabda-sabda Nabi yang cukup banyak dan tidak perlu dijelaskan lagi tentang sifat-sifat hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut telah cukup bagi kita sehingga tidak perlu mengambil hadits-hadits dhaif dalam hal ini. Teristimewa keutamaan-keutamaan, serta akhlaq mulia –termasuk pokok-pokok agama- tidak ada perbedaan antara hadits-hadits yang mengenai akhlaq dan yang terkait dengan masalah hukum, keduanya harus berdasar hadits shahih atau hasan. Adalah suatu keharusan rujukan semua itu adalah hadits yang maqbul (dapat di terima). (Ushul al-Hadits, hal: 352)
KAIDAH
أَالجَرهُ مُقَدَّمُ عَلَى التَّعْدِيْلِ.
“Al-Jarh (cacad) hendaknya didahulukan daripada pernyataan ‘Adil”.
Ada kaidah dalam ilmu hadits yaitu: “tuduhan cacat harus lebih di dahulukan daripada penilaian orang yang menganggap adil”. Maksudnya adalah, terkadang para ahli hadits berbeda dalam menilai seorang rawi hadits, dimana sepihak menganggapnya adil, jujur dan dapat dipercaya, sementara pihak lain melihat sebaliknya.
Nah, untuk menentukan penilaian yang man yang kuat, apakah menganggap adil atau yang menganggap dhaif? Simak penjelasan di bawah ini:
Dalam hal ini terbagi ke dalam tiga tingkatan:
إِذَا كَانَ الجَارِحُ مُبَيِّنًا السَّبَبَ، فَيُقَدَّمُ الجَرْحُ
Bila si penjarah (orang yang menganggap cacat) menjelaskan sebab jarahnya, maka hendaknya didahulukan pernyataan jarahnya.
إِذَا لَمْ ييَكُنْ الجَارِحُ مُبَيِّنًا السَّبَبَ، فَيُقَدَّمُ التَّعْدِيْلُ.
Bila si penjarah tidak menjelaskan sebab jarahannya. Maka hendaknya didahulukan pernyataan orang yang menganggap adil.
إِذَا لَمْ يُبَيِّنِ السَّبَبَ وَلَكِنْ لاَ أَحَدَ يُصَحِّحُهُ فَيُقْبَلُ الجَرْحُ.
Bila si penjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya, tetapi tidak ada seorangpun yang menyatakan shahih kepadanya. Maka pernyataan jarah itu bisa diterima.
Menurut pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar:
1. Bila (terjadi) bersatu pada seorang rawi tuduhan jarah yang dijelaskan sebabnya dengan tuduhan adil, maka tuduhan jarahnya di dahulukan, meski yang menganggap adil banyak jumlahnya. Karena si penjarah –tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang menganggap adil.
2. Bila seseorang dijarah secara mujmal (garis besar) padahal ia telah dinyatakan Tsiqat (kepercayaan) oleh para Imam dalam urusan ini (ahli hadits), maka tuduhan jarah itu tidak dapat diterima dari siapa dan bagaimanapun, kecuali jarah yang dijelaskan sebab-sebabnya, mengingat ia telah mendapat tingkatan tsiqat, maka ia tidak bisa ditolak kecuali dengan alasan yang jelas. Karena para Imam dalam urusan ini (ahli hadits) tidak akan menganggap tsiqat kepada seseorang kecuali telah diteliti terlebih dahulu keadaanya, baik di dalam agamanya ataupun dalam urusan haditsnya, serta mereka juga akan mengkritiknya sebagaimana layaknya. Mereka adalah orang yang paling cermat dan hati-hati. Maka keputusan mereka tidak dapat di gugurkan kecuali dengan pernyataan yang jelas sekali.
3. Dan jika sepi dari yang menganggap adil, maka bisa diterima jarah yang tidak dijelaskan (sebab jarahnya) jika keluar dari orang yang arif, karena sesungguhnya jika tidak di nyatakan adil, maka ia berarti dalam keadaan majhul, sedang menggunakan ucapan yang menganggap jarah lebih utama daripada membiarkannya. (Syarah Alfiyah As-Syuyuthi, hal: 99)
4. Perincian yang telah dipilih oleh Ibnu Hajar itulah yang menentramka hati orang yang membahas mengenai Ta’lil (‘illat hadits), jarah dan ta’dil setelah ditetapkannya ‘Ulumu al-Hadits dan di bukukannya.
5. Janganlah seseorang tertipu dengan kaidah: “AL-JAHRU MUQADDAMUN ‘ALA TA’DIL”, maka sesungguhnya para pakar hadits sekalipun mereka mengungkapkannya dengan bebas, tetapi maksudnya adalah jarah yang dijelaskan sebabnya, karena jarah yang tidak dijelaskan belum tentu bahwa itu adalah jarah yang mesti di tolak. (Taudhihu al-Afkar, 2 : 274)
6. Banyak orang yang mencela imam muslim karena ia meriwayatkan dalam kitab shahihnya sekelompok rawi yang lemah dan yang tingkat pertengahan. Pada tingkat kedua ini, adalah mereka yang tidak memenuhi prasyarat shahih, padahal tidak tergolong aib (cacat) menurut Imam Muslim, (hal) itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, sebagaimana telah di sampaikan oleh Abu Amr Ibnu Ash-Shalih; Pertama, hal itu terjadi pada orang dhaif menurut pendapat orang lain, sedang menurut pendapatnya adalah shahih. Oleh karena itu tidak dapat disebut; “AL_JAHRU MUQADDAMUN ‘ALA TA’DIL”, karena hal itu terjadi jika keadaan jarah yang pasti penjelasan sebab-sebab jarahnya. Apabila tidak demikian halnya, maka tuduhan jarah itu tidak bisa diterima. (an-Nawawi; Syarah Shahih Muslim, 1: 25)
7. Telah berkata al-Taju al-Subki dalam Thabaqah-nya: “Hati-hatilah memahami kaidah ahli hadits; “AL-JAHRU MUQADDAMUN ‘ALA TA’DIL”, itu menurut kemutlakannya. Adapun yang benar adalah siapa yang konsisten dalam kejujuran dan keadilannya serta banyak orang yang memuji dia, dan jarang orang yang menjarahnya, disamping itu pula disana terdapat bukti-bukti yang menunjukkan sebab jarahnya itu hanyalah atas dasar fanatik madhab atau sejenisnya, maka janganlah memperhatikan tuduhan jarahnya”. (Qawa’id at-Tahdits, hal: 171)
8. Adapun tuduhan jarah , sesungguhnya tidak dapat diterima, kecuali dijelaskan argumentasinya/alasan/sebab, karena orang senantiasa berbeda dalam penilaian man yang harus dijarah, mana yang tidak. Adakalanya seseorang menyatakan jarah berdasarkan anggapannya sendiri, padahal sebenarnya bukan jarah. Oleh karena itu, harus dijelaskan alasan jarahnya itu sebagai bahan pertimbangan apakah termasuk jarah atau tidak. Nampaknya hal ini telah menjadi ketetapan dalam fiqh dan ushul fiqh.
(menurut) pernyataan al-Khatib al-Hafidz, pendapat tersebut diatas adalah pendapat para Imam ahli hadits dan para pengkritik hadits seperti: Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Karena itu, Imam Bukhari berhujjah/berpegang dengan sekelompok orang yang terlebih dahulu di jarah oleh yang lain seperti: Ikarimah Maula Ibnu Abbas, Ismail bin Abi Uwais, Ashim bin Ali, Amr bin Marzuq, dll. Juga Imam Muslim juga telah berhujjah dengan Suwaid bin Sa’id, dengan sekelompok orang yang dikenal telah tercela di kalangan mereka. Demikian juga dengan sikap Abu Daud al-Sajastani. Hal itu semua menunjukan bahwa para ahli/pakar hadits sepakat berpendapat bahwa tuduhan jarah itu tidak kuat, kecuali jika dijelaskan argumentasinya, sedangkan pendapat para kritik rijal hadits berbeda pendapat. (Al-Kifayah fil Ilmi al-Riwayat, hal: 176, al-Taqyid wa al-Idhahat, Syarh Muqaddimat Ibnu Shalah, hal: 140)
KESIMPULAN
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika terjadi penilaian yang berbeda di kalangan para ahli hadits, maka:
- Dahulukan anggapan orang yang menilai dhaif, jika ia menjelaskan sebab dhaifnya.
- Dahulukanlah orang yang menganggap adil jika yang menganggap dhaif tidak menjelaskkan sebab dhaifnya
- Anggapan dhaif yang tidak disertai dengan sebab dhaifnya dapat diterima jika tidak seorangpun yang menilai jujur kepadanya.