Ada yang berpendapat bahwa dzikir setelah shalat lebih utama di jaharkan/dikeraskan. Alasan mereka berdasarkan hadits di bawah ini: Penda...
Ada yang berpendapat bahwa dzikir setelah shalat lebih utama di jaharkan/dikeraskan. Alasan mereka berdasarkan hadits di bawah ini:
Pendapat orang yang mengeraskan dzikir berdasar pada:
اَخْبَرَنِي عَمرٌ أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّايٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عًلًى عَهْدِ النَّبِيِّ – رواه البخارى، 1 : 152
Telah memberitahukan kepada kami Amar bahwa Ma’bad Maula Ibnu Abbas telah memberi tahukan bahwa Ibnu Abbas menceritakan: “Sesungguhnya mengeraskan suara dalam dzikir, ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu itu, pernah terjad di zaman Nabi". (H.R. Bukhari, 1 : 152)
مِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ إِنَّ رَفْعَ الصَّوتِ بِالذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ جَائِزٌ لِهَذَا الْحَدِيْثِ.
Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa mengeraskan suara dalam dzikir itu boleh, berdasar hadits tersebut.
KETERANGAN/JAWABAN:
Dilihat dari Siyaqu al-Kalam (alur cerita) hadits tersebut diatas, memberi pengertian bahwa para sahabat sendiri tidak mengeraskan suaranya dalam berdzikir.
Menurut an-Nawawi, Imam Syafi’i membawakan hadits ini untuk menunjukan bahwa mereka mengeraskan dzikirnya untuk sementara waktu, ketika mengajarkan lafadz dzikir, bukan berarti mereka membiasakan (dzikir) dengan jahar/keras.
Pendapat yang terpilih (alternatif), sesungguhnya imam dan ma’mum hendaklah men-sir-kan (melembutkan suara) dzikirnya kecuali jika diperlukan untuk mengajar. (Fathul a-Bari)
Menurut Imam as-Syafi’i, kami memilih untuk imam serta ma’mum hendaklah berdzikir kepada Allah setelah selesai shalat, dan hendaklah men-sir-kan dzikirnya kecuali jika menjadi imam, dimana ma’mum wajib mempelajarinya, maka ia boleh menjaharkannya sampai imam menduga bahwa ma’mum telah belajar darinya, kemudian iamam men-sir-kan lagi bacaan dzikirnya. (al-Um, 1 : 110)
Menurut imam Syafi’i, kami mengira sesungguhnya Nabi itu jahar hanya sementara waktu, agar orang-orang belajar darinya. (al-Um, 1 : 110)
KESIMPULAN:
- Hadits yang menunjukan adanya dzikir dengan suara keras di zaman Nab itu adalah shahih.
- Hadits tersebut tidak menunjukkan keharusan dzikir dengan suara keras untuk selamanya. Bahkan hadits itu sendiri menunjukan bahwa dzikir dengar suara keras itu sudah biasa TIDAK dilakukan di zaman Nabi dan para sahabat, hanya dulunya memang pernah dilakukan di zaman Nabi untuk mengajarkan kepada para sahabat tentang lafadz-lafadz dzikir.
- Imam Syafi’i juga memilih dan menganggap lebih utama dzikir dengan suara perlahan, baik imam ataupun ma’mum.
Di bawah ini ada beberapa dalil al Quran yang memerintahkan bahwa berdoa itu hendaklah dengan suara perlahan:
Allah berfirman: “ Berdoalah kepada Allah dengan merendahkan diri dan perlahan-lahan. Sesungguhnya Allah tidak mencintai mereka yang melampaui batas”. (Q.S. Al-A’raf : 55)
Allah berfirman: “Berdzikirlah kepada Tuhanmu pada dirimu dengan merendahkan diri dan perlahan-lahan, dan tidak dengan suara yang keras, baik di waktu pagi ataupun sore, dan janganlah engkau termasuk orang yang lalai”. ( Q.S. Al-A’raf : 203)
عَنْ أَبِيْ مُوسَى اَلْأَشْعَرِى قَالَ : رَفَعَ النَّاسُ أَصْوَاتَهُمْ بِالدُّعَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ : اَيُّهَا النَّاسُ أَرْبعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَ وَلاَ غَائِبًا إِنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. – متفق عليه، ابن كثير ؛ 2 : 221
Dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata: (pada suatu waktu orang-orang) mengeraskan suaranya dalam berdoa, kemudian Rasulullah menegeur mereka dengan sabdanya: “Wahai sekalian manusia! Kasihanilah diri kamu sendiri, sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada yang tuli dan yang ghaib. Sesungguhnya Dzat yang kamu berdoa kepadaNya adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi dekat”. (H.R. Bukhari-Muslim; Ibnu Katsir, 2 : 221)