Ada dua pendapat dalam membaca shalawat di dalam Tahiyyat . Pertama, ada yang berpendapat lebih baik memakai lafadz sayyidina, sementara pe...
Ada dua pendapat dalam membaca shalawat di dalam Tahiyyat. Pertama, ada yang berpendapat lebih baik memakai lafadz sayyidina, sementara pendapat lainnya tidak perlu memakai sayyidina. Berikut ini adalah alasan dari kedua pendapat tersebut diatas:
Pendapat Pertama:
اَلْاَوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لِأَنَّ الْاَفْضَلَ سُلُوكُ الْأَدَبِ – إعانة الطالبين، 1 : 169
Yang paling utama adalah menyebut, SAYYIDINA, karena kita harus beraku sopan kepadanya. (I’anatu al-Thalibin, 1 : 169)
وَ الْاَفْضَلُ الاِتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَتِ كَمَا قَالَ ابْنُ ظَهِيْرَةَ وَ صَرَّحَ بِهِ جَمْعُ وَ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيْهِ الْاِتْيَانَ بِمَا اُمِرْنَا بِهِ وَ زِيَادَةُ الْاَخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِيْ هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ – نهاية المحتاج، 1: 509
Yang paling utama adalah memakai lafadz SAYYIDINA, sebagaimana perkataan/pendapat Ibnu Dhahirah yang telah ditegaskan oleh kebanyakan ulama, juga telah di fatwakan oleh syarih (pen-syarah kitab), karena dengannya berarti melakukan apa yang telah diperintah serta menambah; SAYYIDINA, dari lafadz hadits dengan sesuatu yang merupakan adab/kesopanan, maka itu lebih utama diamalkan daripada di tinggalkan. (Nihayatu al-Muhtaj, 1: 509)
Pendapat Kedua:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : قَالَ بَشِيْرُ ابْنِ سَعْدٍ ، يَا رَسُولَ اللّهِ اَمَرَنَا اللّهُ أَنْ نُصَلِّى عَلَيْكَ ، فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ ؟ فَسَكَتً ثُمَّ قَالَ : قُوْلُوْا اَللّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارًكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. – رواه مسلم، 1 : 173
Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata: bahwa Basyir bin Sa’ad telah bertanya: “Ya Rasulullah! Allah telah memerintahkan kepada kami untuk membaca shalawat kepadamu, maka bagaimanakah seharusnya kami membaca shalawat kepadamu?”. Ucapkanlah olehmu: (Ya Allah! Berilah rahmat atas Muhammad & keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi rahmat kepada keluarga Ibrahim, dan berilah (pula) berkat atas Muhammad serta keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim di seluruh alam. Sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha Agung). (H.R. Muslim, 1 : 173)
Urusan-urusan Ta’abbudi, baik berupa lafadz (ucapan) atau yang lainnya tidak boleh ditambah melebihi apa yang telah diperintahkan, hanya berdasarkan baik menurut akal pemikiran. Maka inilah lafadz shalawat dari Nabi yang telah diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat serta biasa diucapkan/dibaca dalam shalat, bahwa mereka tidak mengucapkan; SAYYIDINA MUHAMMAD, juga tidak; SAYYIDINA IBAHIM, kendatipun tidak ragu lagi bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin dari puta-putri Adam a.s, bahkan pemimpin mahluk seluruhnya. (Ta’liq Bulughu al-Maram, hal: 64)
Kalaulah dianggap lebih baik menambhakan lafadz SAYYIDINA dalam bacaan shalawat atas Nabi dengan alasan sesuatu yang sopan, tentu saja harus dianggap baik pula menambah lafadz SAYYIDINA dalam lafadz adzan atau yang lainnya. Padahal dalam hal ini tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi, tabi’in atau para pakar fiqh yang menganjurkannya, karena hal tersebut menyalahi perintah Nabi.
KESIMPULAN:
Pendapat paling kuat dari kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang menyatakan tidak boleh memakai lafadz SAYYIDINA, mengingat:
Pendapat Pertama:
اَلْاَوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لِأَنَّ الْاَفْضَلَ سُلُوكُ الْأَدَبِ – إعانة الطالبين، 1 : 169
Yang paling utama adalah menyebut, SAYYIDINA, karena kita harus beraku sopan kepadanya. (I’anatu al-Thalibin, 1 : 169)
وَ الْاَفْضَلُ الاِتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَتِ كَمَا قَالَ ابْنُ ظَهِيْرَةَ وَ صَرَّحَ بِهِ جَمْعُ وَ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيْهِ الْاِتْيَانَ بِمَا اُمِرْنَا بِهِ وَ زِيَادَةُ الْاَخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِيْ هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ – نهاية المحتاج، 1: 509
Yang paling utama adalah memakai lafadz SAYYIDINA, sebagaimana perkataan/pendapat Ibnu Dhahirah yang telah ditegaskan oleh kebanyakan ulama, juga telah di fatwakan oleh syarih (pen-syarah kitab), karena dengannya berarti melakukan apa yang telah diperintah serta menambah; SAYYIDINA, dari lafadz hadits dengan sesuatu yang merupakan adab/kesopanan, maka itu lebih utama diamalkan daripada di tinggalkan. (Nihayatu al-Muhtaj, 1: 509)
Pendapat Kedua:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : قَالَ بَشِيْرُ ابْنِ سَعْدٍ ، يَا رَسُولَ اللّهِ اَمَرَنَا اللّهُ أَنْ نُصَلِّى عَلَيْكَ ، فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ ؟ فَسَكَتً ثُمَّ قَالَ : قُوْلُوْا اَللّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارًكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. – رواه مسلم، 1 : 173
Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata: bahwa Basyir bin Sa’ad telah bertanya: “Ya Rasulullah! Allah telah memerintahkan kepada kami untuk membaca shalawat kepadamu, maka bagaimanakah seharusnya kami membaca shalawat kepadamu?”. Ucapkanlah olehmu: (Ya Allah! Berilah rahmat atas Muhammad & keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi rahmat kepada keluarga Ibrahim, dan berilah (pula) berkat atas Muhammad serta keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim di seluruh alam. Sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha Agung). (H.R. Muslim, 1 : 173)
Urusan-urusan Ta’abbudi, baik berupa lafadz (ucapan) atau yang lainnya tidak boleh ditambah melebihi apa yang telah diperintahkan, hanya berdasarkan baik menurut akal pemikiran. Maka inilah lafadz shalawat dari Nabi yang telah diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat serta biasa diucapkan/dibaca dalam shalat, bahwa mereka tidak mengucapkan; SAYYIDINA MUHAMMAD, juga tidak; SAYYIDINA IBAHIM, kendatipun tidak ragu lagi bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin dari puta-putri Adam a.s, bahkan pemimpin mahluk seluruhnya. (Ta’liq Bulughu al-Maram, hal: 64)
Kalaulah dianggap lebih baik menambhakan lafadz SAYYIDINA dalam bacaan shalawat atas Nabi dengan alasan sesuatu yang sopan, tentu saja harus dianggap baik pula menambah lafadz SAYYIDINA dalam lafadz adzan atau yang lainnya. Padahal dalam hal ini tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi, tabi’in atau para pakar fiqh yang menganjurkannya, karena hal tersebut menyalahi perintah Nabi.
KESIMPULAN:
Pendapat paling kuat dari kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang menyatakan tidak boleh memakai lafadz SAYYIDINA, mengingat:
- Bacaan/doa dalam shalat adalah urusan ta’abbudi, tidak boleh titambah, dirubah atau dikurangi. Seperti halnya ALLAHU AKBAR tidak boleh dirubah menjadi ALLAHU A’DHAM sekalipun artinya sama.
- Tidak memakai lafadz SAYYIDINA bukan berarti tidak sopan terhadap Nabi, seperti halnya dalam lafadz adzan tidak ada yang memakai SAYYIDINA dan itu berarti buka tidak sopan terhadap Nabi.